Thursday, 10 September 2015

History Of Manchester United

Manchester United telah menjadi kekuatan dominan sejak era Liga Premier digulirkan pada tahun 1992.
The Red Devils, julukan Manchester United, telah memenangkan 12 gelar Liga Premier dan dua Liga Champions di bawah manajer Sir Alex Ferguson.
Tim lain seperti Arsenal dan Chelsea selalu berusaha menantang MU, namun Ferguson selalu bisa membangun skuadnya menjadi kekuatan dominan semenjak ditanganinya.
Ferguson, di musim 2010-11, berhasil melampaui rekor Liverpool 18 kali memenangi gelar liga dengan mempersembahkan gelar ke-19 bagi MU.
Rekor ini jelas akan sulit disamai oleh siapapun kelak yang menggantikan Ferguson.

Fakta tentang Manchester United

– Tahun berdiri: 1878
– Stadion markas: Old Trafford (kapasitas 76.212 orang)
– Nama julukan: The Red Devils
– Warna kostum: merah dan putih
– Pencetak gol terbanyak sepanjang masa: Bobby Charlton
– Juara Divisi Pertama/Liga Premier: sebanyak 19 kali pada tahun 1907-1908, 1910-1911, 1951-1952, 1955-1956, 1956-1957, 1964-1965, 1966-1967, 1992-1993, 1993-1994, 1995-1996, 1996-1997, 1998-1999, 1999-2000, 2000-01, 2002-03, 2006-07, 2007-08, 2008-09, 2010-11
– Juara Piala FA: sebanyak 11 kali pada tahun 1909, 1948, 1963, 1977, 1983, 1985, 1990, 1994, 1996, 1999, 2004
– Juara Piala Liga: sebanyak 4 kali pada tahun 1991-92, 2005-06, 2008-09, 2009-10
– Juara Piala Eropa/Liga Champions: sebanyak 3 kali pada tahun 1967-1968, 1998-1999, 2007-08
– Juara Piala Winners: sebanyak 1 kali pada tahun 1990-1991
– Juara Piala Super UEFA: sebanyak 1 kali pada tahun 1991
– Juara Piala Interkontinental: sebanyak 1 kali pada tahun 1999
– Juara Piala Dunia Klub FIFA: sebanyak 1 kali pada tahun 2008

Sejarah Manchester United

Pada awalnya, klub ini bernama Newton Heath L & YR F.C. yang didirikan pada tahun 1878.
Nama kemudian berubah menjadi Manchester United pada tahun 1902.
The Red Devils memenangkan gelar pertama pada tahun 1908.
Namun MU baru mengalami kesuksesan yang berkelanjutan pada tahun 1950-an, setelah ditangani oleh manajer legendaris Sir Matt Busby.
Busby mampu memberikan tiga gelar pada dekade 50-an, dan menjadikan MU klub Inggris pertama yang berkompetisi di Piala Eropa, di mana mereka kalah di semi-final oleh Real Madrid pada tahun 1957.
Klub mengalami saat duka mendalam pada tahun 1958 ketika pesawat yang membawa tim pulang dari pertandingan Eropa jatuh sehingga menewaskan delapan pemain dalam tragedi yang dikenal sebagai bencana udara Munich.
Busby, yang selamat dari kecelakaan, bersama dengan pemain terbesar klub, Sir Bobby Charlton, berusaha membangun kembali tim.
Dengan dukungan beberapa pemain seperti George Best dan Denis Law, MU memenangi dua gelar liga pada tahun 60-an, sebelum mengklaim Piala Eropa perdana mereka, mengalahkan Benfica di final tahun 1968.
Setelah Busby mengundurkan diri pada tahun 1969, tidak ada manajer yang bisa mendekati keberhasilannya sampai Ferguson tiba di tahun 1986.
Selama hampir 3 dekade menangai MU, Ferguson telah membangun rekor fenomenal yang membawa MU memenangi lebih banyak gelar liga dibandingkan Liverpool.
Beberapa pemain MU dekade 90-an seperti Ryan Giggs, David Beckham, Paul Scholes, Gary Neville, dan Phil Neville menjadi bagian tak terpisahkan dari kejayaan klub

Agresi Militer Belanda II

Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 dimaksudkan oleh Belanda untuk memusnahkan kekuatan bersenjata yang berada di pihak RI, yaitu TNI, yang dianggap sebagai ekstrimis alias bahkan kriminal.


Bagi Belanda, apa yang kami kenal sebagai Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah suatu  perbuatan yang diperbuat oleh kekuatan polisi, yang dalam struktur kelembagaan negara manapun adalah suatu  lembaga untuk menegakkan keamanan serta ketertiban sipil. Dengan demikian, TNI bagi Belanda adalah “kriminal”yang mengganggu ketertiban serta keamanan. Mesikipun demikian, pada kenyataannya, kekuatan tentaralah yang dikerahkan untuk melaksanakan Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948. Kekuatan “polisi” yang dipakai oleh pihak Belanda dengan cara praktis adalah suatu  kekuatan “militer” sebab dibekali dengan peralatan yang biasanya hanya dimiliki oleh kesatuan-kesatuan militer, antara lain kendaraan lapis baja serta alat-alat persenjataan berat.
Alasan lain yang tidak jarang dikemukakan Belanda untuk membenarkan Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah bahwa RI tidak sepenuhnya menjalankan Perjanjian Renville, yang ditandatangani pada 17 Januari 1947. Menurut perjanjian tersebut, RI wajib mengosongkan kekuatan TNI dari Jawa Barat serta Jawa Timur. Perjanjian ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin. Rakyat Indonesia yang nasib di kurang lebih tahun tersebut tidak jarang menyebut momen tersebut sebagai zaman dorsetut (Doorstoot), alias “kles” (Clash). Pemerintah RI sendiri dengan cara resmi menyebut momen itu sebagai Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948. Angka II di belakang istilah tersebut menunjukkan bahwa Belanda sebelumnya juga sempat melancarkan serangan ke wilayah RI. Dalam buku-buku sejarah resmi Indonesia, diceritakan bahwa pada tahun 1947 Belanda sempat melancarkan Penyerangan Militer Belanda I pada 1947 tidak lama seusai penandatanganan Perjanjian Linggarjati. Semacam istilah yang diberbagi untuk Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948, Belanda menyebut serangan ini sebagai “Aksi Polisionil I”.
Mesikipun pihak Belanda bersikeras menyebut momen penyerbuan ke wilayah-wilayah RI sebagai “Aksi Polisionil”, serta dengan demikian tidak lebih cocok bila disebut sebagai suatu  “perang”, perencanaan serta pelaksanaan penyerbuan tersebut adalah khas militer serta taktik serta taktik yang diterapkan menunjukkan bahwa penyerbuan tersebut terbukti adalah suatu  perang. Pihak Belanda menyebut gerakan ofensif dalam Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 sebagai Operasi Kraai alias Operasi Gagak. Sasaran utamanya adalah bunda kota Republik Indonesia pada saat itu, yaitu Yogyakarta, serta wilayah-wilayah RI yang lain baik di Pulau Jawa maupun Pulau Sumatera. Sebab perencanaan yang sangat matang serta pelaksanaan yang sempurna, operasi ini tidak jarang dianggap sebagai salah satu operasi militer paling berhasil di dunia.
 Pasukan Belanda yang melaksanakan Operasi Gagak alias Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah perpaduan dari personel KL (Koninlijk Leger/Tentara Kerajaan Belanda) serta KNIL (Koninlijk Nederlandsche Indische Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Pemegang komando militer paling atas pasukan Belanda adalah Jenderal Simon M. Spoor, yang juga memimpin Penyerangan Militer Belanda I pada 1947. Penyerbuan ke sasaran mutlak Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948, yaitu bunda kota Yogyakarta, dimulai dari Lapangan Terbang Maguwo (kini Bandar Udara Adisutjipto, sebelah timur kota Yogyakarta). Pasukan pertama yang menyerbu Lapangan Udara Maguwo terdiri dari 432 anak buah pasukan KST. Seluruh anak buah pasukan ini selamat.
  • 18 Desember 1948. Pukul 23:30: Radio Antara dari Jakarta mengabarkan bahwa Dr. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, bakal mengucapkan pidato penting besok pagi.
  • 19 Desember 1948. Pukul 02.00: Pasukan 1e para-compagnie (Pasukan para I) KST di Andir mulai memeproleh perlengkapan parasut masing-masing.
  • Pukul 03.30: Briefing akhir para komandan.
  • Pukul 03:45: Mayor Jendral Engles tiba di bandar udara Andir.
  • Pukul 04:00: Jendral Spoor tiba. Pemimpin seluruh Operasi Gagak alias Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 ini meperbuat inspeksi serta memberbagi pidato singkat.
  • Pukul 04:20: Seluruh personel KST naik ke pesawat. Mereka diangkut dengan enambelas buah pesawat angkut Dakota. Komandan kelompok ini adalah Kapten Eekhout.
  • Pukul 04:30: Pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan dari bandar udara Andir menuju Lapangan Udara Maguwo adalah melintasi Lautan Hindia.
  • Pukul 05:45: Lima pesawat Mustang serta sembilan pesawat Kittyhawk membombardir Lapangan Udara Maguwo dengan mitralyur serta bom.
  • Pukul 06:25: Para pilot pesawat pemburu mengabarkan bahwa zona penerjunan sudah bisa dipakai.
  • Pukul 06:45: Pasukan KST mulai diterjunkan. Pada saat yang sama, Dr. Beel mengucapkan suatu  pidato radio, di mana dirinya menyebutkan bahwa Belanda tidak terbelit lagi dengan Persetujuan Renville. Penyerangan terhadap Lapangan Udara Maguwo, yang memulai seluruh peperangan selagi Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948, terbukti adalah operasi militer yang berhasil. Pertahanan Lapangan Udara tersebut bisa dikatakan tidak ada. Hanya tersedia berbagai pucuk senapan serta suatu  senapan anti pesawat kaliber 12,7. Senjata berat, yang tidak tidak sedikit jumlahnya, semua sedang rusak. Secara keseluruhan, ada 150 personel TNI yang menjaga Lapangan Udara Maguwo. Pangkalan hanya dijaga oleh satu kompi TNI bersenjata lengkap, tetapi mereka bukan tandingan bagi serangan perpaduan pasukan terjun payung yang terlatih serta skuadron pesawat pembom yang hebat. Hanya dalam waktu 25 menit, pertempuran sudah berakhir. KST tidak kehilangan satu pun personelnya dalam fase awal Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 ini, sementara TNI kehilangan 128 personel.
  • Pukul 07.10, Lapangan Udara Maguwo sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda. Dua jam kemudian, seluruh personel KST sudah mendarat. Dua jam berikutnya, Grup Tempur M, terdiri dari 2600 personel (tergolong dua batalyon dari Brigade T yang bersenjata berat, dipimpin Kolonel D.R.A. van Langen). Seluruh kekuatan Belanda yang sudah dipersiapkan untuk Penyerangan Militer Belanda II 19 Desember 1948 pun mulai menyerbu Yogyakarta. Ibu kota Yogyakarta jatuh dengan mudah. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta serta berbagai menteri ditawan serta diasingkan Belanda. Sebelum tertangkap, Presiden serta Wakil Presiden mengirimkan kawat terhadap Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Kawat tersebut berisi perintah untuk membentuk suatu  pemerintahan darurat jika Presiden serta Wakil Presiden tertawan musuh.  Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Kilat yang segera disebarkan terhadap seluruh personel TNI untuk meperbuat gerilya. Sebab adanya Perintah Kilat ini, maka setiap tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri alias Hari Juang Kartika TNI AD.[

Wednesday, 9 September 2015

Agresi Militer Belanda I

Agresi Militer Belanda I - Perundingan Linggarjati bagi Belanda hanya dijadikan alat untuk mendatangkan pasukan yang lebih tak sedikit dari negerinya. Untuk mendapatkan dalil guna menyerang Republik Indonesia mereka mengajukan tuntutan sebagai berikut:
Supaya dibetuk pemerintahan federal sementara yang bakal berkuasa di seluruh Indonesia samapai pembentukan Republik Indonesia Serikat. Faktor ini berarti Republik Indonesia ditiadakan.
Pembentukan gendermeri (pasukan Keamanan) bersama yang bakal masuk ke daerah Republik Indonesia.


Republik Indonesia menolak usul itu sebab berarti menghancurkan dia sendiri. Penolakan itu menyebabakan Belanda meperbuat penyerangan militer kepada wilayah Republik Indonesia. Serangan belanda dimulai tanggal 21 Juli 1947 dengan target kota-kota besar di Pulau Jawa serta sumatera. Menghadapi militer Belanda yang bersenjata lengkap serta modern menyebabakan satuan-satuan tentara Indonesia terdesak ke luar kota. Selanjutnya, TNI serta lascar rakyat meperbuat serangan balasan serta strategi perang gerilya.
Adanya penyerangan Militer Belanda I memunculkan simpati serta reaksi keras dari dunia Internasional. Bentuk simpati dunia Internasional ditujukan dengan perbuatan sebagai berikut:
Palang Merah Malaya (Malaysia) serta India mengirimkan bantuan obat-obatan yang diangkut oleh pesawat Dakota dari Singapura. Tetapi, ketika bakal mendarat di Yogyakarta pesawat itu ditembaki jatuh oleh tentara Belanda.
Australia serta India bereaksi keras dengan mendesak Dewan Keamanan PBB supaya segera mengulas persoalan Indonesia.
Pada tanggal 4 Agustus 1947 pemerintah republic Indonesia serta Belanda memkabarhukan mulai berlakuknya gencatan senjata. Sejak pemkabarhuan gencatan sebnjata tersebutlah, dengan cara resmi beresnya penyerangan milter Belanda I. bakal tetapi, kenyataannya Belanda tetap semakin membutuhas wilayahnya samapi dengan dibentuk garis demakrasi yang jauh ke depan ( garis Van Mook ). Indonesia menolak, dengan demikian gencatan senata yang diserukan oleh PBB belum berlakuk dengan cara manjur. Berkah perjuangan diplomasi di forum PBB, tak sedikit negara yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia serta menolong mencari jalan penyelesaian dengan cara damai. Dalam upaya penyelesaian sengketa antara Indonesia serta Belanda dengan cara damai serta mengawasi gencatan senjata yang sudah disepakati bersama maka Dewan Keamanan PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN). Negara yang duduk dalam KTN merupakan hasil tunjukan Republik Indonesia, Belanda serta suatu  negara lagi yang bersifat netral negara tersebut merupakan:
  • Australia (tunjukan Indonesia), diwakili oleh Richard Kirby.
  • Belgia (tunjukan Belanda), diwakili oleh Paul Van Zeeland
  • Amerika Serikat (tunjukan Australia serta Belgia), diwakili Dr. Frank Graham. #psi

Kolonialisme Jepang di Indonesia

Pemerintah Pendudukan Jepang di Indonesia Kedatangan pasukan Jepang di Indonesia, pada umumnya disambut oleh masyarakat Indonesia sebagai pahlawan pembebas daripada sebagai pasukan agresor. Bahkan di beberapa tempat di luar Jawa, tidak sedikit kalang nasionalis pribumi yang membentuk perlawanan terhadap Belanda menjelang datangnya serangan Jepang. Di Aceh misalnya, para ulama Islam Aceh yang tergabung dalam “Persatuan Ulamaulama Seluruh Aceh” (PUSA-dibentuk tahun 1939) di bawah pimpinan Tengku Mohammad Daud Beureu’eh (1899-1987) telah menghubungi Jepang untuk membantu serangan Jepang terhadap Belanda. Di Minangkabau, para ulama secara tidak langsung juga membantu pihak Jepang dan berharap dapat menyaksikan terdepaknya para penghulu dari kekuasaannya.
Sebagai balasannya, pada awal kekuasaannya, pemerintah Jepang banyak memberikan keleluasaan kepada kaum pribumi, seperti mengibarkan bendera merah putih, menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengambil alih tanah-tanah perkebunan milik pengusaha Belanda. Sedangkan untuk memusnahkan pengaruh Barat, Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris, serta berupaya memajukan pengajaran bahasa Jepang. Selain itu, kalender Jepang juga diberlakukan menggantikan kalender Masehi.
Akan tetapi dalam situasi peperangan, Jepang harus memilih prioritasprioritas tertentu. Mereka cepat melakukan reorganisasi pemerintahan setempat dan memadamkan benih-benih revolusi yang mucul di beberapa daerah seiring dengan runtuhnya Hindia Belanda. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Jepang terpaksa harus bersandar kepada para ambtenar dari masa kolonial Belanda seperti; uleebalang, di Aceh, penghulu di Sumatera Barat, para raja di Sumatera Timur, dan kaum priyayi di pulau Jawa.
Sebagai catatan, Jepang telah membentuk tiga tentara wilayah, satu untuk Birma (Myanmar), dua untuk Indonesia dan Malaya. Tentara ke-14 di Filipina dan Tentara Garnisun di Muangthai langsung di bawah Panglima Tentara Selatan. Tentara-tentara di wilayah Indonesia disusun sebagai berikut:
  • Pulau Sumatera di bawah Tentara Angkatan Darat (Rikugun) ke-25 yang bermarkas di Bukittinggi, Sumatera Barat
  • Pulau Jawa dan Madura di bawah Tentara Angkatan Darat ke-16, yang bermarkas di Jakarta. Kedua wilayah ini berada di bawah komando Angkatan Darat Wilayah ke-7 dengan markas besarnya di Singapura.
  • Kalimantan dan Indonesia bagian Timur lainnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut (Kaigun) Armada Selatan ke-2 yang bermarkas besar di Makasar. Dengan adanya pembagian ini tidak berarti bahwa di bagian Indonesia Timur tidak ada pasukan Rikugun. Di Maluku misalnya ditempatkan Tentara ke-19 dan di Irian Utara ditempatkan Tentara ke-2. Namun berbeda dengan Tentara ke-16 atau ke-25, Tentara angkatan darat di daerah ini tidak mempunyai tugas administratif, karena tugas itu dipegang oleh angkatan laut.

Pada masing-masing wilayah tersebut dipimpin oleh kepala staf tentara/armada sebagai seorang gubernur militer (gunseikan). Kantornya disebut Gunseikanbu. Banyak orang Indonesia yang diangkat menjadi pegawai pemerintah untuk mengisi tempat yang ditinggalkan oleh pejabat-pejabat Belanda, baik karena ditawan atau melarikan diri. Kebanyakan dari pejabat baru adalah berkebangsaan Jepang. Sedangkan bangsa Indonesia yang menjadi pejabat baru bangsa, umumnya mantan guru, termasuk guru agama Islam. Bahkan Jepang pernah mengangkat seorang kyai tradisional dari pesantren Gunung Puyuh, Sukabumi, yaitu Kyai Haji Ajengan Ahmad Sanusi sebagai wakil residen Bogor. Menurut sejarawan Harry J. Benda, hal itu merupakan satu fenomena yang menarik, yang belum pernah terjadi sebelumnya, seorang pribumi menduduki jabatan lebih tinggi dari jabatan bupati (Benda 1980). Hal ini menunjukkan bahwa Jepang mempunyai harapan khusus terhadap para ulama Islam, terutama dalam memobilisasi masyarakat Indonesia, yang diyakininya beragama Islam. Untuk keperluan itulah pada akhir Maret 1942, Jepang mendirikan sebuah kantor urusan agama (Shumubu) di Jawa.
Meskipun para ulama atau para mantan guru itu dinilai loyalitasnya cukup tinggi daripada para priyayi, uleebalang atau penghulu, namun umumnya mereka tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman apa-apa dalam birokrasi pemerintahan. Akhirnya para pejabat lama terpaksa direkrut kembali untuk menduduki jabatan lamanya.
Kebijakan di antara ketiga wilayah pemerintahan militer itu sangat berbeda. Umumnya Jawa dianggap sebagai wilayah yang secara politik dinilai paling maju dan dayanya yang utama adalah manusia. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan Jepang di wilayah ini dapat membangkitkan kesadaran nasional yang jauh lebih mantap dibandingkan dengan kedua wilayah lainnya. Meskipun demikian, secara ekonomi Jawa nilainya kurang penting, dibandingkan wilayah Sumatera dan Kalimantan yang kaya akan minyak dan beberapa sumber pertambangan lainnya yang sangat dibutuhkan industri perang Jepang. Akan tetapi karena pentingnya arti perkembangan masa depan, maka Jawa mendapat perhatian ilmiah yang lebih besar daripada pulau-pulau lainnya. Sementara wilayah di bawah angkatan laut, secara politik dianggap terbelakang walaupun mempunyai arti ekonomi yang tinggi. Pemerintahan militer di wilayah ini cenderung bersifat sangat menindas dibandingkan di wilayah Jawa.
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintahan Pendudukan Jepang untuk mencari dukungan sekaligus melibatkan bangsa Indonesia dalam peperangannya adalah melalui propaganda. Untuk keperluan itu maka pada bulan Agustus 1942 Jepang membentuk Departemen Propaganda (Sendenbu). Secara resmi disebutkan bahwa lembaga ini merupakan organ yang terpisah dari Seksi Penerangan Angkatan Darat. Namun dalam praktiknya lembaga ini selalu dipimpin oleh para perwira Angkatan Darat, seperti: Kolonel Machida Keiji (Agustus 1942 – Oktober 1943), Mayor Adachi Hisayoshi (Oktober 1943 – Maret 1945), dan Kolonel Takanashi Koryo (April 1945 – Agusyus 1945). Di bawah lembaga ini kemudian dibentuk “Gerakan Tiga A” di bawah pimpinan Mr. Syamsuddin, kemudian “Poetera” di bawah “empat serangkai”, dan “Jawa Hokokai” serta “Sumatera Hokokai”. Organisasi propaganda yang disebut terakhir ini mempunyai alat organisasi sampai tingkat desa yang disebut tonarigumi (Rukun Tetangga yang berkembang sampai sekarang). Melalui tonarigumi inilah dilakukan pengorganisasian, mobilisasi, indoktrinasi dan pelaporan rakyat Jawa atau Sumatera. Sejak bulan Februari 1944, para kepala desa menjalani kursus-kursus indoktrinasi. Melalui tonarigumi pula terjadi pengerahan para “pahlawan pekerja”, yang lebih dikenal dengan nama romusha.
Lembaga Sendenbu ini mempunyai 3 seksi, yaitu: (1) Seksi Administrasi, (2) Seksi Berita dan Pers, dan (3) Seksi Propaganda. Pada tahun 1943 lembaga ini membantu terbentuknya Keimin Bunka Shidosho (Lembaga Kebudayaan).
Keimin Bunka Shidosho dibentuk pada 1 April 1943. Peresmiannya dilakukan oleh Gunseikan tanggal 18 April 1943. Dalam kesempatan itu ia menyebutkan bahwa tujuan Pusat Kebudayaan itu antara lain: (1) menghapus kebudayaan Barat termasuk faham kesenian yang tidak cocok dengan sikap ketimuran, (2) membangun kebudayaan Timur untuk dijadikan dasar bagi memajukan bangsa Asia Timur (Raya), dan (3) menghimpun para seniman untuk membantu tercapainya kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Untuk yang disebut terakhir, pemerintah Jepang memenga merekrut para seniman, termasuk para pelukis. Bahkan menerbitkan karya-karya mereka.
Berdasarkan pernyataan itu, seolah-olah pemerintah Jepang menginginkan terpeliharanya dan sekaligus berkembangnya kebudayaan asli Indonesia dengan cara melenyapkan pengaruh Barat. Namun di sisi lain tersirat bahwa Jepang akan berusaha untuk menanamkan dan menyebarkan seni dan budaya Jepang, terutama dalam materi pendidikan dan kursus-kursus pelatihan guru. #psi

Masa Kolonialisme Belanda di Indonesia

Pemerintahan Kolonial Belanda Tahun 1816 Raffles mengakhiri pemerintahannya di Hindia. Pemerintah Inggris sebenarnya telah menunjuk John Fendall untuk menggantikan Raffles. Tetapi pada tahun 1814 sudah diadakan Konvensi London. Salah satu isi Konvensi London adalah Inggris harus mengembalikan tanah jajahan di Hindia kepada Belanda. Dengan demikian pada tahun 1816 Kepulauan Nusantara kembali dikuasai oleh Belanda. Sejak itu dimulailah Pemerintahan Kolonial Belanda.

Jalan tengah bersama Komisaris Jenderal
Setelah kembali ke tangan Belanda, tanah Hindia diperintah oleh badan baru yang diberi nama Komisaris Jenderal. Komisaris Jenderal ini dibentuk oleh Pangeran Willem VI yang terdiri atas tiga orang, yakni: Cornelis Theodorus Elout (ketua), Arnold Ardiaan Buyskes (anggota), dan Alexander Gerard Philip Baron Van der Capellen (anggota). Sebagai rambu-rambu pelaksanaan pemerintahan di negeri jajahan Pangeran Willem VI mengeluarkan Undang - Undang Pemerintah untuk negeri jajahan (Regerings Reglement) pada tahun 1815. Salah satu pasal dari undang-undang tersebut menegaskan bahwa pelaksanaan pertanian dilakukan secara bebas. Hal ini menunjukkan bahwa ada relevansi dengan keinginan kaum liberal sebagaimana diusulkan oleh Dirk van Hogendorp.



Berbekal ketentuan dalam undang-undang tersebut ketiga anggota Komisaris Jenderal itu berangkat ke Hindia Belanda. Ketiganya sepakat untuk mengadopsi beberapa kebijakan yang pernah diterapkan oleh Raffles. Mereka sampai di Batavia pada 27 April 1816. Ketika melihat kenyataan di lapangan, Ketiga Komisaris Jenderal itu bimbang untuk menerapkan prinsip prinsip liberalisme dalam mengelola tanah jajahan di Nusantara. Hindia dalam keadaan terus merosot dan pemerintah mengalami kerugian. Kas negara di Belanda dalam keadaan menipis. Mereka sadar bahwa tugas mereka harus dilaksanakan secepatnya untuk dapat mengatasi persoalan ekonomi baik di Tanah Jajahan maupun di Negeri Induk. Sementara itu perdebatan antar kaum liberal dan kaum konservatif terkait dengan pengelolaan tanah jajahan untuk mendatangkan keuntungan sebesar-besarnya belum mencapai titik temu. Kaum liberal berkeyakinan bahwa pengelolaan negeri jajahan akan mendatangkan keuntungan yang besar bila diserahkan kepada swasta, dan rakyat diberi kebebasan dalam menanam. Sedang kelompok konservatif berpendapat pengelolaan tanah jajahan akan menghasilkan keuntungan apabila langsung ditangani pemerintah dengan pengawasan yang ketat. Dengan mempertimbangkan amanat UU Pemerintah dan melihat kenyataan di lapangan serta memperhatikan kaum liberal dan kaum konservatif, Komisaris Jenderal sepakat untuk menerapkan kebijakan jalan tengah. Maksudnya, eksploitasi kekayaan di tanah jajahan langsung ditangani pemerintah Hindia Belanda agar segera mendatangkan keuntungan bagi negeri induk, di samping mengusahakan kebebasan penduduk dan pihak swasta untuk berusaha di tanah jajahan. Tetapi kebijakan jalan tengah ini tidak dapat merubah keadaan. Akhirnya pada tanggal 22 Desember 1818 Pemerintah memberlakukan UU yang menegaskan bahwa penguasa tertinggi di tanah jajahan adalah gubernur jenderal. Van der Capellen kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Jenderal. Ia ingin melanjutkan strategi jalan tengah. Tetapi kebijakan Van der Capellen itu berkembang ke arah sewa tanah dengan penghapus peran penguasa tradisional (bupati dan para penguasa setempat). Kemudian Van der Capellen juga menarik pajak tetap yang sangat memberatkan rakyat. Timbul banyak protes dan mendorong terjadinya perlawanan. Kemudian ia dipanggil pulang dan digantikan oleh Du Bus Gisignies. Ia berkeinginan membangun modal dan meningkatkan ekspor. Tetapi program ini tidak berhasil karena rakyat tetap miskin sehingga tidak mampu menyediakan barangbarang yang diekspor. Yang terjadi justru impor lebih besar dibanding ekspor. Tentu ini sangat merugikan bagi pemerintah Belanda. Kondisi tanah jajahan dalam kondisi krisis, kas Negara di negeri induk pun kosong. Hal ini disebabkan dana banyak tersedot untuk pembiayaan perang di tanah jajahan. Sebagai contoh Perang Diponegoro yang baru berjalan satu tahun sudah menguras dana yang luar biasa, sehingga pemerintahan Hindia Belanda dan pemerintah negeri induk mengalami kesulitan ekonomi.
Kesulitan ekonomi Belanda ini semakin diperberat dengan adanya pemisahan antara Belanda dan Belgia pada tahun 1830. Dengan pemisahan ini Belanda banyak kehilangan lahan industri sehingga pemasukan negara juga semakin berkurang.

Sistem Tanam Paksa
Pemerintah Belanda terus mencari cara bagaimana untuk mengatasi problem ekonomi. Berbagai pendapat mulai dilontarkan oleh para para pemimpin dan tokoh masyarakat. Salah satunya pada tahun 1829 seorang tokoh bernama Johannes Van den Bosch mengajukan kepada raja Belanda usulan yang berkaitan dengan cara melaksanakan politik kolonial Belanda di Hindia. Van den Bosch berpendapat untuk memperbaiki ekonomi, di tanah jajahan harus dilakukan penanaman tanaman yang dapat laku dijual di pasar dunia. Sesuai dengan keadaan di negeri jajahan, maka penanaman dilakukan dengan paksa. Mereka menggunakan konsep daerah jajahan sebagai tempat mengambil keuntungan bagi negeri induk. Seperti dikatakan Baud, Jawa adalah “gabus tempat Nederland mengapung”. Jadi dengan kata lain Jawa dipandang sebagai sapi perahan.
Konsep Bosch itulah yang kemudian dikenal dengan Cultuurstelsel (Tanam Paksa). Dengan cara ini diharapkan perekonomian Belanda dapat dengan cepat pulih dan semakin meningkat. Bahkan dalam salah satu tulisan Van den Bosch membuat suatu perkiraan bahwa dengan Tanam Paksa, hasil tanaman ekspor dapat ditingkatkan sebanyak kurang lebih f.15. sampai f.20 juta setiap tahun. Van den Bosch menyatakan bahwa cara paksaan seperti yang pernah dilakukan VOC adalah cara yang terbaik untuk memperoleh tanaman ekspor untuk pasaran Eropa. Dengan membawa dan memperdagangkan hasil tanaman sebanyak-banyaknya ke Eropa, maka akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.

Ketentuan Tanam Paksa
Raja Willem tertarik serta setuju dengan usulan dan perkiraan Van den Bosch tersebut. Tahun 1830 Van den Bosch diangkat sebagai Gubernur Jenderal baru di Jawa. Setelah sampai di Jawa Van den Bosch segera mencanangkan sistem dan program Tanam Paksa. Secara umum Tanam Paksa mewajibkan para petani untuk menanam tanaman-tanaman yang dapat diekspor di pasaran dunia. Jenis tanaman itu di samping kopi juga antara lain tembakau, tebu, dan nila. Rakyat kemudian diwajibkan membayar pajak dalam bentuk barang sesuai dengan hasil tanaman yang ditanam petani. Secara rinci beberapa ketentuan Tanam Paksa itu termuat pada Lembaran Negara (Staatsblad) Tahun 1834 No. 22. Ketentuan-ketentuan itu antara lain sebagai berikut.
  • Penduduk menyediakan sebagian dari tanahnya untuk pelaksanaan Tanam Paksa.
  • Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk pelaksanaan Tanam Paksa tidak boleh melebihi seperlima dari tanah pertanian yang dimiliki penduduk desa.
  • Waktu dan pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman Tanam Paksa tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  • Tanah yang disediakan untuk tanaman Tanam Paksa dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
  • Hasil tanaman yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa wajib diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Jika harga atau nilai hasil tanaman ditaksir melebihi pajak tanah yang harus dibayarkan oleh rakyat, maka kelebihannya akan dikembalikan kepada rakyat.
  • Kegagalan panen yang bukan disebabkan oleh kesalahan rakyat petani, menjadi tanggungan pemerintah.
  • Penduduk desa yang bekerja di tanah-tanah untuk pelaksanaan Tanam Paksa berada di bawah pengawasan langsung para penguasa pribumi, sedang pegawai-pegawai Eropa melakukan pengawasan secara umum.
  • Penduduk yang bukan petani, diwajibkan bekerja di perkebunan atau pabrik-pabrik milik pemerintah selama 65 hari dalam satu tahun.
Menurut apa yang tertulis di dalam ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tampaknya tidak terlalu memberatkan rakyat. Bahkan pada prinsipnya rakyat boleh mengajukan keberatan-keberatan apabila memang tidak dapat melaksanakan sesuai dengan ketentuan. Ini artinya ketentuan Tanam Paksa itu masih memperhatikan martabat dan nilai-nilai kemanusiaan.

Pelaksanaan Tanam Paksa
Menurut Van den Bosch, pelaksanaan sistem Tanam Paksa harus menggunakan organisasi desa. Oleh karena itu, diperlukan faktor penggerak, yakni lembaga organisasi dan tradisi desa yang dipimpin oleh kepala desa. Berkaitan dengan itu pengerahan tenaga kerja melalui kegiatan seperti sambatan, gotong royong maupun gugur gunung, merupakan usaha yang tepat untuk dilaksanakan. Dalam hal ini peran kepala desa sangat sentral. Kepala desa di samping sebagai penggerak para petani, juga sebagai penghubung dengan atasan dan pejabat pemerintah. Oleh karena posisi yang begitu penting itu maka kepala desa tetap berada di bawah pengaruh dan pengawasan para pamong praja.
Yang jelas pelaksanaan Tanam Paksa itu tidak sesuai dengan peraturan yang tertulis. Hal ini telah mendorong terjadinya tindak korupsi dari para pegawai dan pejabat yang terkait dengan pelaksanaan Tanam Paksa. Tanam Paksa telah membawa penderitaan rakyat. Banyak pekerja yang jatuh sakit. Mereka dipaksa fokus bekerja untuk Tanam Paksa, sehingga nasib diri sendiri dan keluarganya tidak terurus. Bahkan kemudian timbul bahaya kelaparan dan kematian di berbagai daerah. Misalnya di Cirebon (1843 - 1844), di Demak (tahun 1849) dan Grobogan pada tahun 1850.
Sementara itu dengan pelaksanaan Tanam Paksa ini Belanda telah mengeruk keuntungan dan kekayaan dari tanah Hindia. Dari tahun 1831 hingga tahun 1877 perbendaharaan kerajaan Belanda telah mencapai 832 juta gulden, utang-utang lama VOC dapat dilunasi, kubu-kubu dan benteng pertahanan dibangun. Belanda menikmati keuntungan di atas penderitaan sesame manusia. Memang harus diakui beberapa manfaat adanya Tanam Paksa, misalnya, dikenalkannya beberapa jenis tanaman baru yang menjadi tanaman ekspor, dibangunnya berbagai saluran irigasi, dan juga dibangunnya jaringan rel kereta api. Beberapa hal ini sangat berarti dalam kehidupan masyarakat kelak.

Sistem usaha swasta
Pelaksanaan Tanam Paksa memang telah berhasil memperbaiki perekonomian Belanda. Kemakmuran juga semakin meningkat. Bahkan keuntungan dari Tanam Paksa telah mendorong Belanda berkembang sebagai Negara industri. Sejalan dengan hal ini telah mendorong pula tampilnya kaum liberal yang didukung oleh para pengusaha. Oleh karena itu, mulai muncul perdebatan tentang pelaksanaan Tanam Paksa.
Masyarakat Belanda mulai mempertimbangkan baik buruk dan untung ruginya Tanam Paksa. Timbullah pro dan kontra mengenai pelaksanaan Tanam Paksa. Pihak yang pro dan setuju Tanam Paksa tetap dilaksanakan adalah kelompok konservatif dan para pegawai pemerintah. Mereka setuju karena Tanam Paksa telah mendatangkan banyak keuntungan. Begitu juga para pemegang saham perusahaan NHM (Nederlansche Handel Matschappij), yang mendukung pelaksanaan Tanam Paksa karena mendapat hak monopoli untuk mengangkut hasil-hasil Tanam Paksa dari Hindia Belanda ke Eropa. Sementara, pihak yang menentang pelaksanaan Tanam Paksa adalah kelompok masyarakat yang merasa kasihan terhadap penderitaan rakyat pribumi. Mereka umumnya kelompok-kelompok yang dipengaruhi oleh ajaran agama dan penganut asas liberalisme. Kaum liberal menghendaki tidak adanya campur tangan pemerintah dalam urusan ekonomi. Kegiatan ekonomi sebaiknya diserahkan kepada pihak swasta.
Nederlansche Handel Matschappij: perusahaan dagang yang didirikan oleh Raja William I di Den Haag pada 9 Maret 1824 sebagai promosi antara lain bidang perdagangan dan perusahaan pengiriman, dan memegang Pandangan dan ajaran kaum liberal itu semakin berkembang dan pengaruhnya semakin kuat. Oleh karena itu, tahun 1850 Pemerintah mulai bimbang. Apalagi setelah kaum liberal mendapatkan kemenangan politik di Parlemen (Staten Generaal). Parlemen memiliki peranan lebih besar dalam urusan tanah jajahan. Sesuai dengan asas liberalisme, maka kaum liberal menuntut adanya perubahan dan pembaruan. Peranan pemerintah dalam kegiatan ekonomi harus dikurangi, sebaliknya perlu diberikan keleluasaan kepada pihak swasta untuk mengelola kegiatan ekonomi. Pemerintah berperan sebagai pelindung warga, mengatur tegaknya hukum, dan membangun sarana prasarana agar semua aktivitas masyarakat berjalan lancar.
Kaum liberal menuntut pelaksanaan Tanam Paksa di Hindia Belanda diakhiri. Hal tersebut didorong oleh terbitnya dua buah buku pada tahun 1860 yakni buku Max Havelaar tulisan Edward Douwes Dekker dengan nama samarannya Multatuli, dan buku berjudul Suiker Contractor (Kontrak-kontrak Gula) tulisan Frans van de Pute. Kedua buku ini memberikan kritik keras terhadap pelaksanaan Tanam Paksa. Penolakan terhadap Tanam Paksa sudah menjadi pendapat umum. Oleh karena itu, secara berangsurangsur Tanam Paksa mulai dihapus dan mulai diterapkan sistem politik ekonomi liberal. Hal ini juga didorong oleh isi kesepakatan di dalam Traktat Sumatera yang ditandatangani tahun 1871. Di dalam Traktat Sumatera itu antara lain dijelaskan bahwa Belanda diberi kebebasan untuk meluaskan daerahnya sampai ke Aceh. Tetapi sebagai imbangannya Inggris meminta kepada Belanda agar menerapkan ekonomi liberal agar pihak swasta termasuk Inggris dapat menanamkan modalnya di tanah jajahan Belanda di Hindia.
Penetapan pelaksanan sistem politik ekonomi liberal memberikan peluang pihak swasta untuk ikut mengembangkan perekonomian di tanah jajahan. Seiring dengan upaya pembaruan dalam menangani perekonomian di negeri jajahan, Belanda telah mengeluarkan berbagai ketentuan dan peraturan perundang-undangan.
  • Tahun 1864 dikeluarkan Undang-undang Perbendaharaan Negara (Comptabiliet Wet). Berdasarkan Undang-undang ini setiap anggaran belanja Hindia Belanda harus diketahui dan disahkan oleh Parlemen.
  • Undang-undang Gula (Suiker Wet). Undang-undang ini antara lain mengatur tentang monopoli tanaman tebu oleh pemerintah yang kemudian secara bertahap akan diserahkan kepada pihak swasta.
  • Undang-undang Agraria (Agrarische Wet) pada tahun 1870. Undang- Undang ini mengatur tentang prinsip-prinsip politik tanah di negeri jajahan. Di dalam undang-undang itu ditegaskan, antara lain : a. Tanah di negeri jajahan di Hindia Belanda dibagi menjadi dua bagian. Pertama, tanah milik penduduk pribumi berupa persawahan, kebun, ladang dan sebagainya. Kedua, tanahtanah hutan, pegunungan dan lainnya yang tidak termasuk tanah penduduk pribumi dinyatakan sebagai tanah pemerintah. b. Pemerintah mengeluarkan surat bukti kepemilikan tanah. c. Pihak swasta dapat menyewa tanah, baik tanah pemerintah maupun tanah penduduk. Tanah-tanah pemerintah dapat disewa pengusaha swasta sampai 75 tahun. Tanah penduduk  dapat disewa selama lima tahun, ada juga yang disewa sampai 30 tahun. Sewa-menyewa tanah ini harus didaftarkan kepada pemerintah.

Sejak dikeluarkan UU Agraria itu, pihak swasta semakin banyak memasuki tanah jajahan di Hindia Belanda. Mereka memainkan peranan penting dalam mengeksploitasi tanah jajahan. Oleh karena itu, mulailah era imperialism modern. Berkembanglah kapitalisme di Hindia Belanda. Tanah jajahan berfungsi sebagai:
  • tempat untuk mendapatkan bahan mentah untuk kepentingan industri di Eropa, dan tempat penanaman modal asing, 
  • tempat pemasaran barang-barang hasil industri dari Eropa, 
  • penyedia tenaga kerja yang murah.
Usaha perkebunan di Hindia Belanda semakin berkembang. Beberapa jenis tanaman perkebunan yang dikembangkan misalnya tebu, tembakau, kopi, teh, kina, kelapa sawit, dan karet. Hasil barang tambang juga meningkat. Industri ekspor terus berkembang pesat seiring dengan permintaan dari pasaran dunia yang semakin meningkat. Untuk mendukung pengembangan sektor ekonomi, diperlukan sarana dan prasarana, misalnya irigasi, jalan raya, jembatan-jembatan, dan jalan kereta api. Hal ini semua dimaksudkan untuk membantu kelancaran pengangkutan hasil-hasil perusahaan perkebunan dari daerah pedalaman ke daerah pantai atau pelabuhan yang akan diteruskan ke dunia luar. Pada
tahun 1873 dibangun serangkaian jalan kereta api. Jalan-jalan kereta api yang pertama dibangun adalah antara Semarang dan Yogyakarta, kemudian antara Batavia dan Bogor, dan antara Surabaya dan Malang. Pembangunan jalan kereta api juga dilakukan di Sumatera pada akhir abad ke-19. Tahun 1883 Maskapai Tembakau Deli telah memprakarsai pembangunan jalan kereta api. Pembangunan jalan kereta api ini direncanakan untuk daerahdaerah yang telah dikuasai dan yang akan dikuasai, misalnya Aceh. Oleh karena itu, pembangunan jalan kereta api di Sumatra ini, juga berdasarkan pertimbangan politik dan militer. Jalur kereta api juga dibangun untuk kepentingan pertambangan, seperti di daerah pertambangan batu bara di Sumatra Barat.
Di samping angkutan darat, angkutan laut juga mengalami peningkatan. Tahun 1872 dibangun Pelabuhan Tanjung Priok di Batavia, Pelabuhan Belawan di Sumatra Timur, dan Pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) di Padang. Jalur laut ini semakin ramai dan efisien terutama setelah adanya pembukaan Terusan Suez pada tahun 1869. Bagi rakyat Bumiputera pelaksanaan usaha swasta tetap membawa penderitaan. Pertanian rakyat semakin merosot. Pelaksanaan kerja paksa masih terus dilakukan seperti pembangunan jalan raya, jembatan, jalan kereta api, saluran irigasi, benteng-benteng dan sebagainya. Di samping melakukan kerja paksa, rakyat masih harus membayar pajak, sementara hasil-hasil pertanian rakyat banyak yang menurun. Kerajinan-kerajinan rakyat mengalami kemunduran karena terdesak oleh alat-alat yang lebih maju. Alat transportasi tradisional, seperti dokar, gerobak juga semakin terpinggirkan. Dengan demikian rakyat tetap hidup menderita. #psi

Hak Istimewa / Octroi VOC

Hak Oktroi gunanya untuk menjamin VOC:
(a) melakukan monopoli perdagangan,
(b) membuat perjanjian dengan pemerintah setempat,
(c) membangun benteng-benteng pertahanan,
(d) membentukan angkatan perang,
(d) menyatakan perang,
(e) mengangkat pemerintahan setempat,
(f) menyelenggarakan administrasi pemerintahan.
Dapat disimpulkan, bahwa dengan Hak Oktroi itu VOC mendapat hak-hak yang normalnya dimiliki oleh sebuah negara berdaulat. Meskipun VOC itu perusahaan dagang, tetapi dengan hak itu mereka beroperasi sebagaimana layaknya sebuah negara.
Definisi Hak Octrooi
Di luar konteks VOC, definisi Hak Octrooi atau octrooirecht (Bahasa Belanda) secara umum adalah hak subyektif yang diberikan oleh negara kepada perusahaan untuk memproduksi, menjual, atau mengelola sesuatu atau temuan baru.
Hak ini diberikan secara eksklusif kepada perusahaan, penemu atau pemohon dan memberinya kewenangan melarang pihak lain untuk meniru atau menggunakan produk atau temuannya itu, tanpa seizin pemegang hak. Hak Octrooi disebut juga Hak Paten.
Misalnya, kamu menemukan jenis obat tertentu, merknya Anisa, murni hasil penelitian/temuan kamu sendiri dan tidak sama dengan yang lainnya, maka kamu bisa mengajukan permohonan Hak Oktroi atau Hak Paten ke Kementerian Kehakiman. Jika permohonanmu dikabulkan, maka hanya kamu satu-satunya yang boleh menjual dan mengedarkan obat tersebut, biasanya dalam jangka waktu 20 tahun. Setelah jangka waktu ini lewat, maka Hak Oktroi mu pun berakhir, pihak lain boleh membuat obat dengan formula seperti yang kamu buat.

Masa VOC Di Indonesia

Kekuasaan VOC di Indonesia - Pada tahun 1614 Pieter Both digantikan oleh Gubernur Jenderal Gerard Reynst (1614-1615). Baru berjalan satu tahun ia digantikan gubernur jenderal yang baru yakni Laurens Reael (1615-1619). Pada masa jabatan Laurens Reael ini berhasil dibangun Gedung Mauritius yang berlokasi di tepi Sungai Ciliwung. Orang-orang Belanda yang tergabung dalam VOC itu memang cerdik. Pada awalnya mereka bersikap baik dengan rakyat. Hubungan dagang dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara juga berjalan lancar. Bahkan seperti telah djelaskan di atas, orang-orang Belanda di bawah pimpinan Gubernur Jenderal Pieter Both diizinkan oleh Pangeran Wijayakrama untuk membangun tempat tinggal dan loji di Jayakarta. Sikap baik rakyat dan para penguasa setempat ini dimanfaatkan oleh VOC untuk semakin memperkuat kedudukannya di Nusantara. Lama kelamaan orang-orang Belanda mulai menampakkan sikap congkak, dan sombong. Setelah merasakan nikmatnya tinggal di Nusantara dan menikmati keuntungannya yang melimpah dalam berdagang, Belanda semakin bernafsu ingin menguasai dan kadang-kadang melakukan paksaan dan kekerasan. Hal ini telah menimbulkan kebencian rakyat dan para penguasa lokal. Oleh karena itu, pada tahun 1618 Sultan Banten yang dibantu tentara Inggris di bawah Laksamana Thomas Dale berhasil mengusir VOC dari Jayakarta.


Orang-orang VOC kemudian menyingkir ke Maluku. Setelah VOC hengkang dari Jayakarta pasukan Banten pada awal tahun 1619 juga mengusir Inggris dari Jayakarta. Dengan demikian Jayakarta sepenuhnya dapat dikendalikan oleh Kesultanan Banten. Tahun 1619 Gubernur Jenderal VOC Laurens Reael digantikan oleh Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen). J.P. Coen dikenal gubernur jenderal yang berani dan kejam serta ambisius. Oleh karena itu, merasa bangsanya dipermalukan pasukan Banten dan Inggris di Jayakarta, maka J.P. Coen mempersiapkan pasukan untuk menyerang Jayakarta. Armada angkatan laut dengan 18 kapal perangnya mengepung Jayakarta. Ternyata dalam waktu singkat Jayakarta dapat diduduki VOC. Kota Jayakarta kemudian dibumihanguskan oleh J.P. Coen pada tanggal 30 Mei 1619. Di atas puingpuing kota Jayakarta itulah dibangun kota baru bergaya kota dan bangunan di Belanda. Kota baru itu dinamakan Batavia sebagai pengganti nama Jayakarta. J.P. Coen adalah gubernur jenderal yang sangat bernafsu untuk memaksakan monopoli. Ia juga dikenal sebagai peletak dasar penjajahan VOC di Indonesia. Disertai dengan sikap congkak dan tindakan yang kejam, J.P.Coen berusaha meningkatkan eksploitasi kekayaan bumi Nusantara. Cara-cara VOC untuk meningkatkan eksploitasi kekayaan alam dilakukan antara lain dengan:
  • Merebut pasaran produksi pertanian, biasanya dengan memaksakan monopoli, seperti monopoli rempah-rempah di Maluku.
  • Tidak ikut aktif secara langsung dalam kegiatan produksi hasil pertanian. Cara memproduksi hasil pertanian dibiarkan berada di tangan kaum Pribumi, tetapi yang penting VOC dapat memperoleh hasil-hasil pertanian itu dengan mudah, sekalipun harus dengan paksaan.
  • VOC sementara cukup menduduki tempat-tempat yang strategis.
  • VOC melakukan campur tangan terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara, terutama menyangkut usaha pengumpulan hasil bumi dan pelaksanaan monopoli. Dalam kaitan ini VOC memiliki daya tawar yang kuat, sehingga dapat menentukan harga.
  • Lembaga-lembaga pemerintahan tradisional/kerajaan masih tetap dipertahankan dengan harapan bisa dipengaruhi/dapat diperalat, kalau tidak mau baru diperangi.
Setelah berhasil membangun Batavia dan meletakkan dasar-dasar penjajahan di Nusantara, pada tahun 1623 J.P. Coen kembali ke negari Belanda. Ia menyerahkan kekuasaannya kepada Pieter de Carpentier. Tetapi oleh pimpinan VOC di Belanda, J.P. Coen diminta kembali ke Batavia. Akhirnya pada tahun 1627 J.P. Coen tiba di Batavia dan diangkat kembali sebagai Gubernur Jenderal untuk jabatan yang kedua kalinya. Pada masa jabatan yang kedua inilah terjadi serangan tentara Mataram di bawah Sultan Agung
ke Batavia. Batavia senantiasa memiliki posisi yang strategis bagi VOC. Semua kebijakan dan tindakan VOC di kawasan Asia dikendalikan dari markas besar VOC di Batavia. Di samping itu Batavia juga terletak pada persimpangan atau menjadi penghubung jalur perdagangan internasional. Batavia menghubungkan perdagangan di Nusantara bagian barat dengan Malaka, India, kemudian juga menghubungkan dengan Nusantara bagian timur. Apalagi Nusantara bagian timur ini menjadi daerah penghasil rempah-rempah yang utama, maka posisi Batavia yang berada di tengah-tengah itu menjadi semakin strategis dalam perdagangan rempah-rempah.
VOC semakin serakah dan bernafsu untuk menguasai Nusantara yang kaya rempah-rempah ini. Tindakan intervensi politik terhadap kerajaan-kerajaan di Nusantara dan pemaksaan monopoli perdagangan terus dilakukan. Politik devide et impera dan berbagai tipu daya juga dilaksanakan demi mendapatkan kekuasaan dan keuntungan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, Mataram yang merupakan kerajaan kuat di Jawa akhirnya juga dapat dikendalikan secara penuh oleh VOC. Hal ini terjadi setelah dengan tipu muslihat VOC,  yang sedang dalam keadaan sakit keras dipaksa untuk menandatangani naskah penyerahan kekuasaan Kerajaan Mataram kepada VOC pada tahun 1749. Tidak hanya kerajaan-kerajaan di Jawa, kerajaan-kerajaan di luar Jawa berusaha ditaklukkan. Untuk memperkokoh kedudukannya di Indonesia bagian barat dan memperluas pengaruhnya di Sumatera, VOC berhasil menguasai Malaka setelah mengalahkan saingannya, Portugis pada tahun 1641. Berikutnya VOC berusaha meluaskan pengaruhnya ke Aceh. Kerajaan Makassar di bawah Sultan Hasanuddin yang tersohor di Indonesia bagian timur juga berhasil dikalahkan setelah terjadi Perjanjian Bongaya tahun 1667. Dari Makasar VOC juga berhasil memaksakan kontrak dan monopoli perdagangan dengan Raja Sulaiman dari Kalimantan Selatan. Sementara jauh sebelum itu yakni tahun 1605 VOC sudah berhasil mengusir Portugis dari Ambon. VOC menjadi berjaya setelah berhasil melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Maluku. Untuk mengendalikan pelaksanaan monopoli di kawasan ini dilaksanakan Pelayaran Hongi.
Pengaruh dan kekuasaan VOC semakin meluas. Untuk memperkuat kebijakan monopoli ini di setiap daerah yang dipandang strategis armada VOC diperkuat. Benteng-benteng pertahanan dibangun. Sebagai contoh Benteng Doorstede dibangun di Saparua, Benteng Nasau di Banda, di Ambon sudah ada Benteng Victoria, Benteng Oranye di Ternate, dan Benteng Rotterdam di Makasar. Dalam rangka memperluas pengaruh dan kekuasaannya itu, ternyata perhatian VOC juga sampai ke Irian/Papua yang dikenal sebagai wilayah yang masih tertutup dengan hutan belantara yang begitu luas. Penduduknya juga masih bersahaja dan primitif. Orang Belanda yang pertama kali sampai ke Irian adalah Willem Janz. Bersama armandanya rombongan Willem Janz menaiki Kapal Duyke dan berhasil memasuki tanah Irian pada tahun 1606. Willem Janz ingin mencari kebun tanaman rempah-rempah. Tahun 1616- 1617 Le Maire dan William Schouten mengadakan survei di daerah pantai timur laut Irian dan menemukan Kepulauan Admiralty bahkan sampai ke New Ireland. Dengan penemuan ini maka nama William diabadikan sebagai nama kepulauan, Kepulauan Schouten. Pada waktu orang-orang Belanda sangat memerlukan bantuan budak, maka banyak diambil dari orang-orang Irian. Pengaruh VOC di Irian semakin kuat. Bahkan pada tahun 1667, Pulaupulau yang termasuk wilayah Irian yang semula berada di bawah kekuasaan Kerajaan Tidore sudah berpindah tangan menjadi daerah kekuasaan VOC.
Dengan demikian daerah pengaruh dan kekuasaan VOC sudah meluas di seluruh Nusantara. Memahami uraian di atas, jelas bahwa VOC yang merupakan kongsi dagang itu berangkat dari usaha mencari untung kemudian dapat menanamkan pengaruh bahkan kekuasaannya di Nusantara. Fenomena ini juga terjadi pada kongsi dagang milik bangsa Eropa yang lain. Artinya, untuk memperkokoh tindakan monopoli dan memperbesar keuntungannya orang-orang Eropa itu harus memperbanyak daerah yang dikuasai (daerah koloninya). Tidak hanya daerah yang dikuasai secara ekonomi, kongsi dagang itu juga ingin mengendalikan secara politik atau memerintah daerah tersebut. Bercokollah kemudian kekuatan kolonialisme dan imperialisme.
Dalam praktiknya, antara kolonialisme dan imperialisme sulit untuk dipisahkan. Kolonialisme merupakan bentuk pengekalan imperialisme (Taufik Abdullah dan A.B. Lapian (ed), 2012). Muara kedua paham itu adalah penjajahan dari negara yang satu terhadap daerah atau bangsa yang lain. Sistem inilah yang umumnya diterapkan bangsa-bangsa Eropa yang datang di Kepulauan Nusantara, baik Portugis, Spanyol, Inggris maupun Belanda. Berangkat dari motivasi untuk memperbaiki taraf kehidupan ekonomi kemudian meningkat menjadi nafsu untuk menguasai dan mengeruk kekayaan dan keuntungan sebanyak-banyaknya dari daerah koloni untuk kejayaan bangsanya sendiri.  Pihak atau bangsa lain dipandang sebagai musuh dan harus disingkirkan. Sifat keangkuhan dan keserakahan telah menghiasi perilaku kaum penjajah. Inilah sifat-sifat yang sangat dibenci dan tidak diridhoi oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Demikian halnya dengan VOC, tidak sekedar menjadi sebuah kongsi dagang yang berusaha untuk mencari untung tetapi juga ingin menanamkan kekuasaannya di Nusantara. VOC dengan hak-hak dan kewenangan yang diberikan pemerintah dan parlemen Belanda telah melakukan penjajahan dan menguatkan akar kolonialisme dan imperialisme di Nusantara. Melalui cara-cara pemaksaan monopoli perdagangan, politik memecah belah serta tipu muslihat yang sering disertai tindak peperangan dan kekerasan, semakin memperluas daerah kekuasaan dan memperkokoh kemaharajaan VOC. Sekali lagi tindak keserakahan dan kekerasan yang dilakukan oleh VOC itu menunjukkan mereka tidak mau bersyukur atas karunia yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena itu, wajar kalau timbul perlawanan dari berbagai daerah misalnya dari Aceh, Banten, Demak, Mataram, Banjar, Makasar, dan Maluku. #psi